BHISAMA PANDE
Bhisama PertamaTentang Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di BesakihBhisama pertama, berupa bhisama agar Warga Pande tidak lupa menyungsung Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih. Bhisama ini dipesankan dengan tegas oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala di Pura Bukit Indrakila sebagai berikut : ”Mangke hiyun ira turun ing Besaki. Didine ane Penataran Pande. Kita aywa lupa bakti ring kawitan ring Besakih”. (Sekarang kupesankan kepadamu, pergilah engkau ke Besakih. Disana ada Penataran Pande. Jangan lupa sujud bakti kepada kawitanmu di Besakih).
Apa akibatnya kalau Warga pande lupa nyungsung Ida Betara Kawitan yang berstana
di Pura Ida Ratu Bagus Pande di Besakih ? marilah kita resapkan dan camkan
Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala berikut : ”Warahakena katekeng
mahagotranta, ri wekas inget-inget aja lali. Yan kita lipya ngaturanga
panganjali ring Bhatara Kawitan, tan wun kita kabajrawisa de paduka Bhatara,
sugih gawe kurang pangan”. (sebarluaskanlah kepada keluarga besarmu, sampai
keturunanmu dikemudian hari kelak. Ingatlah selalu, jangan sampai lupa. Kalau
engkau sampai lupa menyembah (nyungsung) Bhatara Kawitan, engkau akan
disalahkan oleh Ida Bhatara. Kendati usahamu sukses engkau akan selalu
kekurangan pangan).
Warga pande harus menyadari bahwa Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di
Besakih memang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih. Gelar
abhiseka Ida Bhatara di Penataran Pande di Besakih justru diketemukan dalam
Raja Purana Pura Besakih dan di dalam Babad Dalem Tarukan.
Dalam Raja Purana Pura Besakih dijelaskan bahwa nama abhiseka Ida Bhatara di
Pura Penataran Pande di Besakih adalah Ida Ratu Bagus Pande. Dalam Raja Purana
Pura Besakih terdapat uraian yang jelas mengenai abhiseka itu, demikian pula
mengenai keterkaitan antara Pura Penataran Pande dengan Pura Penataran Agung,
karena Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Pura Besakih merupakan salah satu
catur lawa yang merupakan satu kesatuan dengan Penataran Agung Pura Besakih.
Lebih jauh dalam Raja Purana Pura Besakih dengan jelas dikemukakan sebagaia
berikut : ”Iki pengerecah kalaning sampun mange ring pamargin Ida Bhatara
Kabeh. Manke kacritan pamargin Bhatara, ngaran 10 warsa ka Klotok ring dina
purnamaning kapat. Pamargin ka yeh sah ngalimang warsa ring purnamaning kadasa,
pamargin ka Tegal Suci Ngapetang warsa, ring dina purnamaning kalima”.
Maksudnya : inilah tata cara yang sudah baku mengenai perjalanan Ida Bhatara
semua. Sekarang diceritakan
perjalanan Ida Bhatara, setiap 10 tahun ke Klotok pada saat purnama kapat
(sekitar bulan Oktober). Perjalanan ke Yeh Sah setiap 5 tahun sekali, pada saat
purnama ka dasa (sekitar bulan bulan Juni). Perjalanan ke Tegal suci setiap 4
tahun sekali, pada saat purnama ka kalima (sekitar bulan November).
Selanjutnya ditegaskan : ”dening sampun puput pangrawose sami, mangke caritan
pamargin Ida Bhatara, ring pamargi; (karena sudah rampung pembicaraannya, sekarang
diceritakan perjalanan Ida Bhatara. Dalam perjalanan itu). Tata urutan
perjalanan Ida Bhatara adalah sebagaia berikut :
Ida Ratu Bagus pande, pamargine pinih riin, pungkuran ring Ida;
Ida Ratu Dukuh Segening, pungkuran ring Ida;
Ida Ratu pasek, pungkuran ring Ida;
Ida Bahtara Gde Pemeneh, pungkurang ring Ida;
Ida Bhatara ring Dalem Puri, Ida mamargi paling ungkur pisan.
Dalam Babad Tarukan, koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Bali, yang
keotentikannya telah disahkan oleh Pengurus Pusat Para Gotra Sentana Dalem
Tarukan pada tanggal 5 Juli 1982, terdapat pula gelar abhiseka Ida Bhatara
Penataran pande di Besakih yang sama dengan gelar yang termuat dalam Raja
Purana Pura Besakih.
Gelar itu termaktub dalam Bhisama Dalem Gelgel, pada waktu putra-purti Dalem
Tarukan menghadap beliau Dalem Gelgel. Dalam pertemuan itu dibhisamakan oleh
Dalem Sri Semara Kepakisan, bahwa apabila para sentana Dalem Tarukan tetap
ingin ngamanggehang (menegakkan) pamancangah (prasasti)-nya, sebagaia bukti
bahwa mereka adalaha keturunan Dalem Gelgel, mereka harus memohon pengampunan
(nunas lugra) ke Pura Besakih. Dalam Babad Dalem Tarukan dimuat bhisama Dalem,
yang memberi petunjuk kemana mereka harus nunas lugra dan apa sarana penuntun
nunas lugra itu, sebagaia berikut : ”muwah yan kita padha amaplagem
pamencangah, nunas lugra kita ka Gunung Agung, ring Penataran Agung, makadi
ring I Ratu Bagus Pande, ring Iratu Gedhe Panyarikan. Maka panuntun Ida, benang
tridatu tlung tukel, daksina arta 700, paripih emas maka palinggihan Ida. Wija
dena jangkep, kukus menyan-asatanggi, asep, canang tubungan, katipat kelanan
limang kelan, sekar setaman”. Maksudnya: Demikian pula kalau engkau sama sama
berniat menegakkan prasatimu, mohon ampulah engkau ke Gunung Agung, di
Penataran Agung, juga ke Penataran I Ratu Bagus Pande, kepada I Ratu Gedhe
Penyarikan. Sebagai sarana upacara itu adalah benang tridatu (tiga warna:
merah, putih, hitam) tiga tukel (gulungan), daksina uang 700 kepeng. Peripih
(lempengan) emas sebagai dasar tempat duduk Beliau. Wija yang lengkap, kukus
menyan setanggi, asep (dupa), canang tubungan, tipat kelan 5 kelan (1 kelan=6
buah dalam satu kumpulan).
Gelar abhiseka sengaja dikemukakan agar warga Pande mengetahuinya, karena dalam
babad-babad Pande gelar itu tidak pernah disebutkan. Warga Pande hendaknya
mempergunakan gelar itu secara sadar, karena gelar itulah yang benar menurut
sumber yang layak dipercaya. Oleh karena itu gelar abhiseka itu mutlak harus
disosialisasikan kepada seluruh warga Pande agar mereka lebih mendalami jati dirinya
guna memperkuat tekad ngayah, sebagaiman yang dibhisama kepada Brahmana Dwala
oleh Mpu Siwa Saguna.
Eratnya keterkaitan antara Penataran Ida Ratu Bagus Pande dan warga Pande
dengan Pura Besakih dikemukakan pula oleh peneliti Prancis, Jean Francois Guerpmonprez
dalam desertasi doktoralnya yang berjudul ”Les Pande De Bali” (1987) yang
dikutipnya dari tulisan C.Hooykaas, seorang pakar sejarah dan budaya Bali asal
Belanda. Berikut kutipan pendapatnya sebagaia berikut: tidak ada warga di Bali
yang mempunyai tempat pemujaan yang jelas untuk menyembah leluhurnya yang suci
pada pura penyembahan leluhur di Pura Besakih di kaki Gunung Agung, sebagaimana
dimiliki oleh warga Pande. Juga tidak ada warga yang telah menyebarluaskan
sejumlah naskah-naskahnya (maksudnya: babad-babad) mengenai diri mereka dan
lelintihan atau silsilahnya seperti halnya dengan warga Pande. Bersama-sama
dengan warga Pasek, mereka merupakan satu-satunya kelompok atau soroh yang
menulis aturan-aturannya dalam bentuk buku (lontar), sebagaimana saya temui
pada kunjungan saya ke Bali pada tahun 1959.
Apa yang kemukakan oleh C.Hooykaas yang dikutif Jean Francois Guerpmonprez
tidaklah jauh berbeda dengan yang termuat dalam Raja Purana Pura Pasar Agung.
Eratnya kaitan warga Pande dengan warga Pasek dengan Pura Besakih tersurat
dengan jelas pada Raja Purana Pura Pasar Agung, yang juga merupakan kesatuan
dengan Pura Besakih kendati letaknya berjauhan dengan Pura Besakih. Dalam Raja
Purana itu ditegaskan sebagai berikut: ”Sangkan apengaran Pasar Agung, mapan
papasaran Bhatara kabeh saking Kadewatan. Dini sira manusa pada. Aja kita
langgana ring Dewa, mangencak aci-aci, manguwugang Khayangan, kena kita
sapadrawa Bhatara ring pucaking Gunung Agung, rusak kita wong Bali, sarang kos
boros, sapi pada arang, kurang pangan kinum ira, masuduk kalawan rwang. Yan
kita eling ring khayangan jagat kabeh, anyanyapuh balik sumpah maring
khayangan, pada angelingin panembahan Ida Pada Sang Ratu ring Gunung Agung,
muah kita punggawa, muah kita Pasek, kita Pande sane wenang ngelah panyembahan
ring Besakih, stata tindih saking Majapahit sane ngutpeti linggih Ida Bhatara
ring Gunung Agung, apang pada eling, aja ya pada predo kita wong Bali. Yannya
predo, matemahan rusak, anging rusake meganti gumi, geledug, ktug, gejor sadina-dina,
gunung uwug pacaloscos, gumi rengat dahata mapanes, sing tanur pada mati
pasedsed, terak maka Bali, aharig pada mangemasin pejah. Ida Bhatara pada
mantuk maring gunung Mahameru, norana Bhatara tumurun malingga maring
khayangan, gumi tulus rusak, manusa tandruh maring dewa”. (Mengapa
bernama Pasar Agung, karena pura itu merupakan pasar para Dewata semua. Di pura
itu semua manusia sama/sederajat. Janganlah kalian lupa kepada para Dewa,
dengan menghentikan upacara-upacara, merusak kahyangan karena hal itu akan
menyebabkan engkau mendapat marah dari Ida Bhatara di Gunung Agung, rusaklah
semua wong Bali kalau berbuat begitu, dan kamu semua menjadi pemboros,
sapi-sapi berkurang, kamu menjadi kurang makan dan minum, kamu akan berkelahi
sesamamu.
Kalau engkau ingat akan semua kahyangan jagat, selalu melakukan upacara malik
sumpah pada kahyangan, semuanya ingat pada Bhatara Sesuhunan di Gunung Agung.
Demikian pula para Punggawa (penguasa jaman dulu) engkau para Pasek, para
Pande, yang berhak mempunyai pelinggih (parahyangan atau pura penataran) di
Pura Besakih, karena selalu taat sejak semasih di Majapahit, engkaulah yang
bertugas memelihara pelinggih-pelinggih Ida Bhatara di Gunung Agung. Engkau
semuanya agar selalu ingat, janganlah hendaknya kamu bertengkar dengan
sesamamu, semuanya akan menjadi rusak, akan tetapi kerusakan itu adalah
bergantinya jaman (maksudnya: Bali dijajah ?) gempa bumi tidak berkeputusan
setiap hari, gunung meletus tidak henti-hentinya, bumi belah karena panas yang
tak tertahankan, atau hujan tidak berkeputusan, segala yang ditanam mati
semuanya, Bali paceklik, kurus kering menunggu ajal. Akibatnya Ida Bhatara
pergi dari Bali, kembali ke Gunung Mahameru, tidak akan ada lagi Ida, kembali
ke Kahyangan, bumi Bali terus terusan rusak, manusia menyangsikan keagungan
para Dewa.
BHISAMA PANDE II
Bhisama kedua
Tentang Ajaran Panca Bayu
Bermakna agar warga pande memahami ajaran Panca Bayu yang diajarkan oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala pada pertemuan dan dialog imajiner mereka di Pura Indrakila. Panca Bayu adalah ajaran kekuatan yang sangat penting bagi mereka yang melakoni Dharma Kapandeyan. Panca Bayu juga sangat penting bagi pengendalian diri untuk mengenal fungsi-fungsi atau kekuatan anggota badan tertentu. Uraian beliau tentang Panca bayu kepada Brahma Dwala adalah sebagai berikut : ”Ndi hingaran Panca Bayu. Panca Bayu ngaran APANA, PRANA, SAMANA, UDHANA, BHYANA. Apana ngaran bayu saking weteng, mwang kakembungan, yatika jambangan. Prana ngaran bayu metu saking peparu, humili amarga lenging grana, yatika hububan, pinaka pamurungan. Samana ngaran bayu metu saking hati, ghni ring sarira. Udhana ngaran bayu saking siwadwara, yatika pinaka uyah. Bhyana ngaran bayu humili saking sarwa sandi pupulakna ring pupu, yatika pinaka landesan. Ndi kang pinaka palu-palu? Tapak tangan ta. Jariji kang pinaka sepit”. (mana yang dimakasud dengan Panca Bayu. Panca Bayu adalah apana, prana, samana, udhana dan bhyana. Apana adalah kekuatan dari perut atau juga disebut tempat air. Prana adalah kekuatan dari paru-paru berada ditengah tengah dada, yang berfungsi sebagai pengububan yang mengeluarkan udara yang berfungsi untuk menghidupkan api dalam pekerjaan memande. Samana adalah kekuatan yang keluardari hati, adalah api yang bertempat dalam badan manusia. Udhana adalah kekuatan dari siwadwara, itulah ibarat garam. Bhyana adalah kekuatan gaib, yang memeberi kekuatan kepada paha yang berfungsi sebagai landesan atau paron. Lantas yang manakah berfungsi sebagai palu? Adalah tanganmu. Jerijimu berfungsi sebagai sepit).
Tentang Ajaran Panca Bayu
Bermakna agar warga pande memahami ajaran Panca Bayu yang diajarkan oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala pada pertemuan dan dialog imajiner mereka di Pura Indrakila. Panca Bayu adalah ajaran kekuatan yang sangat penting bagi mereka yang melakoni Dharma Kapandeyan. Panca Bayu juga sangat penting bagi pengendalian diri untuk mengenal fungsi-fungsi atau kekuatan anggota badan tertentu. Uraian beliau tentang Panca bayu kepada Brahma Dwala adalah sebagai berikut : ”Ndi hingaran Panca Bayu. Panca Bayu ngaran APANA, PRANA, SAMANA, UDHANA, BHYANA. Apana ngaran bayu saking weteng, mwang kakembungan, yatika jambangan. Prana ngaran bayu metu saking peparu, humili amarga lenging grana, yatika hububan, pinaka pamurungan. Samana ngaran bayu metu saking hati, ghni ring sarira. Udhana ngaran bayu saking siwadwara, yatika pinaka uyah. Bhyana ngaran bayu humili saking sarwa sandi pupulakna ring pupu, yatika pinaka landesan. Ndi kang pinaka palu-palu? Tapak tangan ta. Jariji kang pinaka sepit”. (mana yang dimakasud dengan Panca Bayu. Panca Bayu adalah apana, prana, samana, udhana dan bhyana. Apana adalah kekuatan dari perut atau juga disebut tempat air. Prana adalah kekuatan dari paru-paru berada ditengah tengah dada, yang berfungsi sebagai pengububan yang mengeluarkan udara yang berfungsi untuk menghidupkan api dalam pekerjaan memande. Samana adalah kekuatan yang keluardari hati, adalah api yang bertempat dalam badan manusia. Udhana adalah kekuatan dari siwadwara, itulah ibarat garam. Bhyana adalah kekuatan gaib, yang memeberi kekuatan kepada paha yang berfungsi sebagai landesan atau paron. Lantas yang manakah berfungsi sebagai palu? Adalah tanganmu. Jerijimu berfungsi sebagai sepit).
BHISAMA PANDE III
Bhisama Ketiga
Tentang Asta Candhala
Bhisama ketiga mengenai larangan atau pantangan atau perbuatan yang harus dihindari, yatiu perbuatan asta candhala, agar warga pande berhasil menjadi pemimpin manusia utama.
Pada waktu dialog imajiner yang berlangsung di Pura Indrakila, Mpu Siwa Saguna berujar kepada Brahmana Dwala: “nghing yogya kita hangamong wwang uttama, tingalaken asta candhala, away rumaketing sariranta. Ndi ingaran asta candhala, prakyaksakna pangrengonta, nihan lwirnya (apabila engkau ingin menjadi pemimpin yang utama, hindari asta candhala, jangan biarkan mengikat dirimu. Yang manakah disebut astha candala, camkanlah) : 1. amahat, ngaran manginum amdya, metu mawero (minum minuman keras yang memabukan); 2. amalanathing, ngaran maka balandhang jejuden (menjadi bandar judi); 3. anjagal, ngaran amati mati pasa, madwal daging mentah (membunuh binatang dan menjadi penjual daging mentah); 4. amande lemah, ngaran akarya payuk pane (membuat periuk dan barang tembikar lain dari tanah); 5. anyuledang, ananggap upah nebuk padi (menjadi tukang tumbuk padi); 6. anapis, ngaran amangan sesaning wwang len (makan makanan sisa orang lain); amurug papali ngaran (jangan melanggar pantangan) 7. amangan klalatu (makan laron/dedalu) 8. iwak pinggul ngaran dedeleg (ikan gabus atau jeleg).
Tegasnya warga Pande tidak boleh makan dedalu dan dedelg
Tentang Asta Candhala
Bhisama ketiga mengenai larangan atau pantangan atau perbuatan yang harus dihindari, yatiu perbuatan asta candhala, agar warga pande berhasil menjadi pemimpin manusia utama.
Pada waktu dialog imajiner yang berlangsung di Pura Indrakila, Mpu Siwa Saguna berujar kepada Brahmana Dwala: “nghing yogya kita hangamong wwang uttama, tingalaken asta candhala, away rumaketing sariranta. Ndi ingaran asta candhala, prakyaksakna pangrengonta, nihan lwirnya (apabila engkau ingin menjadi pemimpin yang utama, hindari asta candhala, jangan biarkan mengikat dirimu. Yang manakah disebut astha candala, camkanlah) : 1. amahat, ngaran manginum amdya, metu mawero (minum minuman keras yang memabukan); 2. amalanathing, ngaran maka balandhang jejuden (menjadi bandar judi); 3. anjagal, ngaran amati mati pasa, madwal daging mentah (membunuh binatang dan menjadi penjual daging mentah); 4. amande lemah, ngaran akarya payuk pane (membuat periuk dan barang tembikar lain dari tanah); 5. anyuledang, ananggap upah nebuk padi (menjadi tukang tumbuk padi); 6. anapis, ngaran amangan sesaning wwang len (makan makanan sisa orang lain); amurug papali ngaran (jangan melanggar pantangan) 7. amangan klalatu (makan laron/dedalu) 8. iwak pinggul ngaran dedeleg (ikan gabus atau jeleg).
Tegasnya warga Pande tidak boleh makan dedalu dan dedelg
BHISAMA PANDE IV
Bhisama keempat
Larangan memakai tirtha sulinggih lainnya
Bhisama keempat, adalah bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmna Dwala mengenai larangan menggunakan tirtha dari sulinggih lainnya. Larangan ini sama sekali bukan didasari oleh niat merendahkan atau melecehkan sulinggih dari keturunan yang lain (bukan warga Pande). Tetapi menyangkut beberapa hal prinsip yang harus dipahami oleh warga Pande. Warga Pande sangat menghormati dan memuliakan setiap sulinggih dari warga/soroh apapun beliau berasal.
Larangan memakai tirtha sulinggih lainnya
Bhisama keempat, adalah bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmna Dwala mengenai larangan menggunakan tirtha dari sulinggih lainnya. Larangan ini sama sekali bukan didasari oleh niat merendahkan atau melecehkan sulinggih dari keturunan yang lain (bukan warga Pande). Tetapi menyangkut beberapa hal prinsip yang harus dipahami oleh warga Pande. Warga Pande sangat menghormati dan memuliakan setiap sulinggih dari warga/soroh apapun beliau berasal.
Bhisama itu berbunyi: ”yan kita angupakara sawa, aywa
kita weh aminta tirtha ring brahmana panditha. Ngong anugraha kita riwekas,
samangda kita tan kanarakan” (kalau engkau mengupacarai mayat, jangan
meminta tirtha dari brahmana Pandita, aku peringatkan engkau agar engkau tidak
sengsara di kemudian hari).
Selanjutnya; ”mwah yan kita mayadnya suka mwang duka, aywa nurunakna tirtha brahmana. Nguni kawitan ta kita madiksa widhi krama minta nugraha ring paduka bhatara. Mangkana kengeta. Aja lali, weruhakna mwang sanak ira kabeh, kita kabeh aywa lupa ring aji dharma kapandeyan, aywa kita lupa ring kajaten” (dan lagi kalau engkau menyenggarakan upcara yadnya yang bersifat suka dan duka, jangan nuhur tritha brahmana. Mengapa? Karena sajak dulu leluhurmu madiksa widhi krama, memohon panugrahan langsung kepada Ida Bhatara. Demikianlah, ingatlah selalu. Jangan lupa, beritahukanlah hal itu kepada seluruh keturunanmu kelak. Janganlah lupa pada Aji Dharma Kapandeyan. Janganlah lupa pada jati dirimu.
Meliha Bhisama diatas jelaslah bahwa penggunaan tirtha Sira Mpu Pande dikalangan warga Pande adalah untuk setiap upacara atau Panca yadnya. Beberapa alasan warga Pande menggunakan sulinggih dari keturunan Pande atau lazim dikenal dengan Sira Mpu adalah sebagai berikut :
Selanjutnya; ”mwah yan kita mayadnya suka mwang duka, aywa nurunakna tirtha brahmana. Nguni kawitan ta kita madiksa widhi krama minta nugraha ring paduka bhatara. Mangkana kengeta. Aja lali, weruhakna mwang sanak ira kabeh, kita kabeh aywa lupa ring aji dharma kapandeyan, aywa kita lupa ring kajaten” (dan lagi kalau engkau menyenggarakan upcara yadnya yang bersifat suka dan duka, jangan nuhur tritha brahmana. Mengapa? Karena sajak dulu leluhurmu madiksa widhi krama, memohon panugrahan langsung kepada Ida Bhatara. Demikianlah, ingatlah selalu. Jangan lupa, beritahukanlah hal itu kepada seluruh keturunanmu kelak. Janganlah lupa pada Aji Dharma Kapandeyan. Janganlah lupa pada jati dirimu.
Meliha Bhisama diatas jelaslah bahwa penggunaan tirtha Sira Mpu Pande dikalangan warga Pande adalah untuk setiap upacara atau Panca yadnya. Beberapa alasan warga Pande menggunakan sulinggih dari keturunan Pande atau lazim dikenal dengan Sira Mpu adalah sebagai berikut :
Pertama; pemakaian Sira Mpu adalah penerusan tradisi leluhur
yang telah berlangsung sejak jaman sebelum kedatangan DangHyang Nirartha ke
Bali, jauh sebelum Beliau datang warga Pande telah memiliki sulinggih sendiri
yaitu Sira Mpu. Tradisi itulah yang telah diwariskan dari genari ke genarasi,
kendatipun pada saat jaya-jaya sistem kerajaan di Bali, banyak rintangan dan
hambatan yang dialami oleh warga Pande, karena banyak warga desa yang melarang
pemakain Sira Mpu oleh warga Pande.
Kedua, warga pande tidak menggunakan Sulinggih lain, karena
ada mantra-mantra khusus yang tidak dipakai oleh Sulinggih lainnya, khususnya
yang berkaitan dengan Bhisama Panca Bayu. Mantra-mantra yang tidak boleh dilupakan oleh warga Pande yang berhubungan
erat dengan profesi Pande.
Ketiga, warga
Pande seperti warga/soroh lainnya di Bali, memiliki aturan tersendiri dalam
pembuatan kajang kawitan. Kajang kawitan Pande hanya dipahami secara mendalam
oleh Sira Mpu atau pemangku pura kawitan sehingga hanya merekalah yang berhak
membuat kajang kawitan Pande.
Keempat, tata
cara pediksaan di kalangan warga Pande sangat berbeda dengan tata cara
pediksaan dikalangan warga lain, khususnya keturunan DangHyang Nirartha.
Perbedaan ini sangat prinsip bagi warga Pande, dimana warga Pande melakukan
pediksaan dengan sistem Wdhi Krama.
Kalau dianalogikan, pelarangan penggunaan sulinggih lain, adalah seperti orang sakit mencari dokter. Kalau sakit gigi hendaknya dicari dokter gigi, jangan mencari dokter jantung atau lainnya.
Disarikan dari :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa
Pura Agung Besakih
Kalau dianalogikan, pelarangan penggunaan sulinggih lain, adalah seperti orang sakit mencari dokter. Kalau sakit gigi hendaknya dicari dokter gigi, jangan mencari dokter jantung atau lainnya.
Disarikan dari :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa
Pura Agung Besakih
BISAMA PANDE V
Bhisama Kelima
Tentang Pesemetonan Warga Pande
Bhisama kelima adalah Bhisama yang Mpu Siwa Saguna Kepada Brahmna Dwala, di Pura Bukit Indrakila, sebagai berikut; ”Mangkana kengeta, aja lali wruhakena wwang sanakta kabeh. Kita sadaya ajwa lupa ring kajaten, duk ring Yambhu dwipa turun ka Yawa dwipa, tan len Sira Mpu Brahma Wisesa kawitan sira Pande kang ana wayeng Bali-pulina. Kita mangke asanak ring Pande kabeh. Aywa ngucap ming telu, sadohe ming ro. Tan ana sor tan ana luhur, tunggal pwa witnis nguni, kadi anggan ing pang ning kayu-kayu mara jatin ira. Ana awah ana juga tan pawah. Kalingania mangkana juga kita asanak, tan dai angadol kadang. Aja amumpang laku, aywa arok ring wwang hina-laksana”. (ingatlah selalu, jang lupa dengan seluruh keluargamu. Kita tidak boleh lupa dengan jati diri, sejak dari India, sampai ke pulau Jawa, tidak lain Mpu Brahma Wisesa leluhurmu termasuk yang ada di pulau Bali. Kalian semuanya keturunan Pande. Kalian adalah sedarah daging. Jangan merasa memindon (saudara tingkat III) sejauh-jauhnya adalah memisan (saudara tingkat II). Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi. Seperti pohon ada yang berbuah ada yang tidak berbuah (bernasib baik-tidak bernasib baik). Tetapi kalian semua tetap bersaudara, tidak boleh menjual saudara. Jangan berbuat tidak baik, jangan sombong pada orang yang tidak baik.
Begitu pentingnya pesemetonan ini, sehingga banyak dijumpai dalam babad-babad Pande, salah satunya Babad Pande Besi, Pratataning Kaprajuritan Wilwatikta. Terdapat Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada putranya Arya Kapandeyan yang disampaikan kembali kepada Lurah Kapandeyan. ”Kaki anak ingsun Lurah Kapandeyan rengwakena pawarah mami ring kita. Mangke katekeng wekas, wenang kita amretingkah wong, angamet penatak bahan, mwang pangapih, mwang papincatan, lawan tutuwangan, wenang ksatriyan putusing sanyahnyah ira kabeh, katekeng wekas. Aja arok kita, elingakena kadadenta ksatriyan. Aja adoha akadang-kadang, wenang kinumpulaken, apan mulaniya sthiti sawiji andaadi akweh. Sadoh-doh akadang, muliha andadi ming ro. Aja angangken ming tiga, wenang amisan aming rwa. Kunang yan ana pratisantan ta angangken aming tiga, yadyapin sadoh-dohnya, wong amurug anhagu ngaraniya. Kna sodan ingsun bwating upadrawa. Wastu, wastu,wastu pariwastu, kna sodan ira Bhatara Sinuhun”. (anakku Lurah Kapandeyan, dengarkanlah bhisamaku. Sekarang dan seterusnya, berhak engkau mengurusi orang. Memegang tiang penyangga, mengeluarkan aturan, menghukum dan lain-lain pekerjaan seorang ksatriya, sampai kelak dikemudian hari. Janganlah sombong, ingat dirimu adalah seorang ksatriya. Janganlah sampai bercerai berai, semuanya harus bersatu, karena asalnya adalah tunggal kemudian menjadi banyak. Sejauh-jauhnya bersaudara, paling jauh adalah memisan. Jangan mengaku memindon, tetapi memisan. Kalau ada yang mengaku memindon, apalagi lebih dari itu berarti melanggar bhisamaKu. Kena kutukanku, semoga, semoga, semoga. Semoga juga kena kutukan Bhatara Sesuhunan.
Demikian juga Mpu Siwa Saguna memberikan peringatan bagi yang melanggar pesemotan Pande. ”Kunang mwah sentanan ta apan pada madoh-madohan, pawarah juga ya katekeng wekas, didinya pada eling ring titi gegaduhan, amanggehaken kawangsan. Lamakania pada asih apadang, aja lipya kadang, kna upadrwa ingsun”. (karena keturunanKu tinggal berjauhan, ingatkan kepada mereka sampai kelak, dirinya harus ingat dengan pekerjaan, memegang teguh wangsa Pande. Haruslah saling mengasihi, jangan lupa pada pesemetonan, bila tidak kena kutukanKu).
Disarikan dari :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa
Pura Agung Besakih
Tentang Pesemetonan Warga Pande
Bhisama kelima adalah Bhisama yang Mpu Siwa Saguna Kepada Brahmna Dwala, di Pura Bukit Indrakila, sebagai berikut; ”Mangkana kengeta, aja lali wruhakena wwang sanakta kabeh. Kita sadaya ajwa lupa ring kajaten, duk ring Yambhu dwipa turun ka Yawa dwipa, tan len Sira Mpu Brahma Wisesa kawitan sira Pande kang ana wayeng Bali-pulina. Kita mangke asanak ring Pande kabeh. Aywa ngucap ming telu, sadohe ming ro. Tan ana sor tan ana luhur, tunggal pwa witnis nguni, kadi anggan ing pang ning kayu-kayu mara jatin ira. Ana awah ana juga tan pawah. Kalingania mangkana juga kita asanak, tan dai angadol kadang. Aja amumpang laku, aywa arok ring wwang hina-laksana”. (ingatlah selalu, jang lupa dengan seluruh keluargamu. Kita tidak boleh lupa dengan jati diri, sejak dari India, sampai ke pulau Jawa, tidak lain Mpu Brahma Wisesa leluhurmu termasuk yang ada di pulau Bali. Kalian semuanya keturunan Pande. Kalian adalah sedarah daging. Jangan merasa memindon (saudara tingkat III) sejauh-jauhnya adalah memisan (saudara tingkat II). Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi. Seperti pohon ada yang berbuah ada yang tidak berbuah (bernasib baik-tidak bernasib baik). Tetapi kalian semua tetap bersaudara, tidak boleh menjual saudara. Jangan berbuat tidak baik, jangan sombong pada orang yang tidak baik.
Begitu pentingnya pesemetonan ini, sehingga banyak dijumpai dalam babad-babad Pande, salah satunya Babad Pande Besi, Pratataning Kaprajuritan Wilwatikta. Terdapat Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada putranya Arya Kapandeyan yang disampaikan kembali kepada Lurah Kapandeyan. ”Kaki anak ingsun Lurah Kapandeyan rengwakena pawarah mami ring kita. Mangke katekeng wekas, wenang kita amretingkah wong, angamet penatak bahan, mwang pangapih, mwang papincatan, lawan tutuwangan, wenang ksatriyan putusing sanyahnyah ira kabeh, katekeng wekas. Aja arok kita, elingakena kadadenta ksatriyan. Aja adoha akadang-kadang, wenang kinumpulaken, apan mulaniya sthiti sawiji andaadi akweh. Sadoh-doh akadang, muliha andadi ming ro. Aja angangken ming tiga, wenang amisan aming rwa. Kunang yan ana pratisantan ta angangken aming tiga, yadyapin sadoh-dohnya, wong amurug anhagu ngaraniya. Kna sodan ingsun bwating upadrawa. Wastu, wastu,wastu pariwastu, kna sodan ira Bhatara Sinuhun”. (anakku Lurah Kapandeyan, dengarkanlah bhisamaku. Sekarang dan seterusnya, berhak engkau mengurusi orang. Memegang tiang penyangga, mengeluarkan aturan, menghukum dan lain-lain pekerjaan seorang ksatriya, sampai kelak dikemudian hari. Janganlah sombong, ingat dirimu adalah seorang ksatriya. Janganlah sampai bercerai berai, semuanya harus bersatu, karena asalnya adalah tunggal kemudian menjadi banyak. Sejauh-jauhnya bersaudara, paling jauh adalah memisan. Jangan mengaku memindon, tetapi memisan. Kalau ada yang mengaku memindon, apalagi lebih dari itu berarti melanggar bhisamaKu. Kena kutukanku, semoga, semoga, semoga. Semoga juga kena kutukan Bhatara Sesuhunan.
Demikian juga Mpu Siwa Saguna memberikan peringatan bagi yang melanggar pesemotan Pande. ”Kunang mwah sentanan ta apan pada madoh-madohan, pawarah juga ya katekeng wekas, didinya pada eling ring titi gegaduhan, amanggehaken kawangsan. Lamakania pada asih apadang, aja lipya kadang, kna upadrwa ingsun”. (karena keturunanKu tinggal berjauhan, ingatkan kepada mereka sampai kelak, dirinya harus ingat dengan pekerjaan, memegang teguh wangsa Pande. Haruslah saling mengasihi, jangan lupa pada pesemetonan, bila tidak kena kutukanKu).
Disarikan dari :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa
Pura Agung Besakih
BHISAMA PANDE
Bhisama Pertama
Tentang Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih
Bhisama pertama, berupa bhisama agar Warga Pande tidak lupa menyungsung Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih. Bhisama ini dipesankan dengan tegas oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala di Pura Bukit Indrakila sebagai berikut : ”Mangke hiyun ira turun ing Besaki. Didine ane Penataran Pande. Kita aywa lupa bakti ring kawitan ring Besakih”. (Sekarang kupesankan kepadamu, pergilah engkau ke Besakih. Disana ada Penataran Pande. Jangan lupa sujud bakti kepada kawitanmu di Besakih).
Apa akibatnya kalau Warga pande lupa nyungsung Ida Betara Kawitan yang berstana di Pura Ida Ratu Bagus Pande di Besakih ? marilah kita resapkan dan camkan Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala berikut : ”Warahakena katekeng mahagotranta, ri wekas inget-inget aja lali. Yan kita lipya ngaturanga panganjali ring Bhatara Kawitan, tan wun kita kabajrawisa de paduka Bhatara, sugih gawe kurang pangan”. (sebarluaskanlah kepada keluarga besarmu, sampai keturunanmu dikemudian hari kelak. Ingatlah selalu, jangan sampai lupa. Kalau engkau sampai lupa menyembah (nyungsung) Bhatara Kawitan, engkau akan disalahkan oleh Ida Bhatara. Kedati usahamu sukses engkau akan selalu kekurangan pangan).
Warga pande harus menyadari bahwa Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Besakih memang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih. Gelar abhiseka Ida Bhatara di Penataran Pande di Besakih justru diketemukan dalam Raja Purana Pura Besakih dan di dalam Babad Dalem Tarukan.
Dalam Raja Purana Pura Besakih dijelaskan bahwa nama abhiseka Ida Bhatara di Pura Penataran Pande di Besakih adalah Ida Ratu Bagus Pande. Dalam Raja Purana Pura Besakih terdapat uraian yang jelas mengenai abhiseka itu, demikian pula mengenai keterkaitan antara Pura Penataran Pande dengan Pura Penataran Agung, karena Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Pura Besakih merupakan salah satu catur lawa yang merupakan satu kesatuan dengan Penataran Agung Pura Besakih.
Lebih jauh dalam Raja Purana Pura Besakih dengan jelas dikemukakan sebagaia berikut : ”Iki pengerecah kalaning sampun mange ring pamargin Ida Bhatara Kabeh. Manke kacritan pamargin Bhatara, ngaran 10 warsa ka Klotok ring dina purnamaning kapat. Pamargin ka yeh sah ngalimang warsa ring purnamaning kadasa, pamargin ka Tegal Suci Ngapetang warsa, ring dina purnamaning kalima”. Maksudnya : inilah tata cara yang sudah baku mengenai perjalanan Ida Bhatara semua. Sekarang diceritakan perjalanan Ida Bhatara, setiap 10 tahun ke Klotok pada saat purnama kapat (sekitar bulan Oktober). Perjalanan ke Yeh Sah setiap 5 tahun sekali, pada saat purnama ka dasa (sekitar bulan bulan Juni). Perjalanan ke Tegal suci setiap 4 tahun sekali, pada saat purnama ka kalima (sekitar bulan November).
Selanjutnya ditegaskan : ”dening sampun puput pangrawose sami, mangke caritan pamargin Ida Bhatara, ring pamargi; (karena sudah rampung pembicaraannya, sekarang diceritakan perjalanan Ida Bhatara. Dalam perjalanan itu). Tata urutan perjalanan Ida Bhatara adalah sebagaia berikut :
Ida Ratu Bagus pande, pamargine pinih riin, pungkuran ring Ida;
Ida Ratu Dukuh Segening, pungkuran ring Ida;
Ida Ratu pasek, pungkuran ring Ida;
Ida Bahtara Gde Pemeneh, pungkurang ring Ida;
Ida Bhatara ring Dalem Puri, Ida mamargi paling ungkur pisan.
Dalam Babad Tarukan, koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Bali, yang keotentikannya telah disahkan oleh Pengurus Pusat Para Gotra Sentana Dalem Tarukan pada tanggal 5 Juli 1982, terdapat pula gelar abhiseka Ida Bhatara Penataran pande di Besakih yang sama dengan gelar yang termuat dalam Raja Purana Pura Besakih.
Gelar itu termaktub dalam Bhisama Dalem Gelgel, pada waktu putra-purti Dalem Tarukanmenghadap beliau Dalem Gelgel. Dalam pertemuan itu dibhisamakan oleh Dalem Sri Semara Kepakisan, bahwa apabila para sentana Dalem Tarukan tetap ingin ngamanggehang (menegakkan) pamancangah (prasasti)-nya, sebagaia bukti bahwa mereka adalaha keturunan Dalem Gelgel, mereka harus memohon pengampunan (nunas lugra) ke Pura Besakih. Dalam Babad Dalem Tarukan dimuat bhisama Dalem, yang memberi petunjuk kemana mereka harus nunas lugra dan apa sarana penuntun nunas lugra itu, sebagaia berikut : ”muwah yan kita padha amaplagem pamencangah, nunas lugra kita ka Gunung Agung, ring Penataran Agung, makadi ring I Ratu Bagus Pande, ring Iratu Gedhe Panyarikan. Maka panuntun Ida, benang tridatu tlung tukel, daksina arta 700, paripih emas maka palinggihan Ida. Wija dena jangkep, kukus menyan-asatanggi, asep, canang tubungan, katipat kelanan limang kelan, sekar setaman”. Maksudnya: Demikian pula kalau engkau sama sama berniat menegakkan prasatimu, mohon ampulah engkau ke Gunung Agung, di Penataran Agung, juga ke Penataran I Ratu Bagus Pande, kepada I Ratu Gedhe Penyarikan. Sebagai sarana upacara itu adalah benang tridatu (tiga warna: merah, putih, hitam) tiga tukel (gulungan), daksina uang 700 kepeng. Peripih (lempengan) emas sebagai dasar tempat duduk Beliau. Wija yang lengkap, kukus menyan setanggi, asep (dupa), canang tubungan, tipat kelan 5 kelan (1 kelan=6 buah dalam satu kumpulan).
Gelar abhiseka sengaja dikemukakan agar warga Pande mengetahuinya, karena dalam babad-babad Pande gelar itu tidak pernah disebutkan. Warga Pande hendaknya mempergunakan gelar itu secara sadar, karena gelar itulah yang benar menurut sumber yang layak dipercaya. Oleh karena itu gelar abhiseka itu mutlak harus disosialisasikan kepada seluruh warga Pande agar mereka lebih mendalami jati dirinya guna memperkuat tekad ngayah, sebagaiman yang dibhisama kepada Brahmana Dwala oleh Mpu Siwa Saguna.
Eratnya keterkaitan antara Penataran Ida Ratu Bagus Pande dan warga Pande dengan Pura Besakih dikemukakan pula oleh peneliti Prancis, Jean Francois Guerpmonprez dalam desertasi doktoralnya yang berjudul ”Les Pande De Bali” (1987) yang dikutipnya dari tulisan C.Hooykaas, seorang pakar sejarah dan budaya Bali asal Belanda. Berikut kutipan pendapatnya sebagaia berikut: tidak ada warga di Bali yang mempunyai tempat pemujaan yang jelas untuk menyembah leluhurnya yang suci pada pura penyembahan leluhur di Pura Besakih di kaki Gunung Agung, sebagaimana dimiliki oleh warga Pande. Juga tidak ada warga yang telah menyebarluaskan sejumlah naskah-naskahnya (maksudnya: babad-babad) mengenai diri mereka dan lelintihan atau silsilahnya seperti halnya dengan warga Pande. Bersama-sama dengan warga Pasek, mereka merupakan satu-satunya kelompok atau soroh yang menulis aturan-aturannya dalam bentuk buku (lontar), sebagaimana saya temui pada kunjungan saya ke Bali pada tahun 1959.
Apa yang kemukakan oleh C.Hooykaas yang dikutif Jean Francois Guerpmonprez tidaklah jauh berbeda dengan yang termuat dalam Raja Purana Pura Pasar Agung. Eratnya kaitan warga Pande dengan warga Pasek dengan Pura Besakih tersurat dengan jelas pada Raja Purana Pura Pasar Agung, yang juga merupakan kesatuan dengan Pura Besakih kendati letaknya berjauhan dengan Pura Besakih. Dalam Raja Purana itu ditegaskan sebagai berikut: ”Sangkan apengaran Pasar Agung, mapan papasaran Bhatara kabeh saking Kadewatan. Dini sira manusa pada. Aja kita langgana ring Dewa, mangencak aci-aci, manguwugang Khayangan, kena kita sapadrawa Bhatara ring pucaking Gunung Agung, rusak kita wong Bali, sarang kos boros, sapi pada arang, kurang pangan kinum ira, masuduk kalawan rwang. Yan kita eling ring khayangan jagat kabeh, anyanyapuh balik sumpah maring khayangan, pada angelingin panembahan Ida Pada Sang Ratu ring Gunung Agung, muah kita punggawa, muah kita Pasek, kita Pande sane wenang ngelah panyembahan ring Besakih, stata tindih saking Majapahit sane ngutpeti linggih Ida Bhatara ring Gunung Agung, apang pada eling, aja ya pada predo kita wong Bali. Yannya predo, matemahan rusak, anging rusake meganti gumi, geledug, ktug, gejor sadina-dina, gunung uwug pacaloscos, gumi rengat dahata mapanes, sing tanur pada mati pasedsed, terak maka Bali, aharig pada mangemasin pejah. Ida Bhatara pada mantuk maring gunung Mahameru, norana Bhatara tumurun malingga maring khayangan, gumi tulus rusak, manusa tandruh maring dewa”. (Mengapa bernama Pasar Agung, karena pura itu merupakan pasar para Dewata semua. Di pura itu semua manusia sama/sederajat. Janganlah kalian lupa kepada para Dewa, dengan menghentikan upacara-upacara, merusak kahyangan karena hal itu akan menyebabkan engkau mendapat marah dari Ida Bhatara di Gunung Agung, rusaklah semua wong Bali kalau berbuat begitu, dan kamu semua menjadi pemboros, sapi-sapi berkurang, kamu menjadi kurang makan dan minum, kamu akan berkelahi sesamamu.
Kalau engkau ingat akan semua kahyangan jagat, selalu melakukan upacara malik sumpah pada kahyangan, semuanya ingat pada Bhatara Sesuhunan di Gunung Agung. Demikian pula para Punggawa (penguasa jaman dulu) engkau para Pasek, para Pande, yang berhak mempunyai pelinggih (parahyangan atau pura penataran) di Pura Besakih, karena selalu taat sejak semasih di Majapahit, engkaulah yang bertugas memelihara pelinggih-pelinggih Ida Bhatara di Gunung Agung. Engkau semuanya agar selalu ingat, janganlah hendaknya kamu bertengkar dengan sesamamu, semuanya akan menjadi rusak, akan tetapi kerusakan itu adalah bergantinya jaman (maksudnya: Bali dijajah ?) gempa bumi tidak berkeputusan setiap hari, gunung meletus tidak henti-hentinya, bumi belah karena panas yang tak tertahankan, atau hujan tidak berkeputusan, segala yang ditanam mati semuanya, Bali paceklik, kurus kering menunggu ajal. Akibatnya Ida Bhatara pergi dari Bali, kembali ke Gunung Mahameru, tidak akan ada lagi Ida, kembali ke Kahyangan, bumi Bali terus terusan rusak, manusia menyangsikan keagungan para Dewa.
Tentang Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih
Bhisama pertama, berupa bhisama agar Warga Pande tidak lupa menyungsung Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih. Bhisama ini dipesankan dengan tegas oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala di Pura Bukit Indrakila sebagai berikut : ”Mangke hiyun ira turun ing Besaki. Didine ane Penataran Pande. Kita aywa lupa bakti ring kawitan ring Besakih”. (Sekarang kupesankan kepadamu, pergilah engkau ke Besakih. Disana ada Penataran Pande. Jangan lupa sujud bakti kepada kawitanmu di Besakih).
Apa akibatnya kalau Warga pande lupa nyungsung Ida Betara Kawitan yang berstana di Pura Ida Ratu Bagus Pande di Besakih ? marilah kita resapkan dan camkan Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala berikut : ”Warahakena katekeng mahagotranta, ri wekas inget-inget aja lali. Yan kita lipya ngaturanga panganjali ring Bhatara Kawitan, tan wun kita kabajrawisa de paduka Bhatara, sugih gawe kurang pangan”. (sebarluaskanlah kepada keluarga besarmu, sampai keturunanmu dikemudian hari kelak. Ingatlah selalu, jangan sampai lupa. Kalau engkau sampai lupa menyembah (nyungsung) Bhatara Kawitan, engkau akan disalahkan oleh Ida Bhatara. Kedati usahamu sukses engkau akan selalu kekurangan pangan).
Warga pande harus menyadari bahwa Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Besakih memang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih. Gelar abhiseka Ida Bhatara di Penataran Pande di Besakih justru diketemukan dalam Raja Purana Pura Besakih dan di dalam Babad Dalem Tarukan.
Dalam Raja Purana Pura Besakih dijelaskan bahwa nama abhiseka Ida Bhatara di Pura Penataran Pande di Besakih adalah Ida Ratu Bagus Pande. Dalam Raja Purana Pura Besakih terdapat uraian yang jelas mengenai abhiseka itu, demikian pula mengenai keterkaitan antara Pura Penataran Pande dengan Pura Penataran Agung, karena Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Pura Besakih merupakan salah satu catur lawa yang merupakan satu kesatuan dengan Penataran Agung Pura Besakih.
Lebih jauh dalam Raja Purana Pura Besakih dengan jelas dikemukakan sebagaia berikut : ”Iki pengerecah kalaning sampun mange ring pamargin Ida Bhatara Kabeh. Manke kacritan pamargin Bhatara, ngaran 10 warsa ka Klotok ring dina purnamaning kapat. Pamargin ka yeh sah ngalimang warsa ring purnamaning kadasa, pamargin ka Tegal Suci Ngapetang warsa, ring dina purnamaning kalima”. Maksudnya : inilah tata cara yang sudah baku mengenai perjalanan Ida Bhatara semua. Sekarang diceritakan perjalanan Ida Bhatara, setiap 10 tahun ke Klotok pada saat purnama kapat (sekitar bulan Oktober). Perjalanan ke Yeh Sah setiap 5 tahun sekali, pada saat purnama ka dasa (sekitar bulan bulan Juni). Perjalanan ke Tegal suci setiap 4 tahun sekali, pada saat purnama ka kalima (sekitar bulan November).
Selanjutnya ditegaskan : ”dening sampun puput pangrawose sami, mangke caritan pamargin Ida Bhatara, ring pamargi; (karena sudah rampung pembicaraannya, sekarang diceritakan perjalanan Ida Bhatara. Dalam perjalanan itu). Tata urutan perjalanan Ida Bhatara adalah sebagaia berikut :
Ida Ratu Bagus pande, pamargine pinih riin, pungkuran ring Ida;
Ida Ratu Dukuh Segening, pungkuran ring Ida;
Ida Ratu pasek, pungkuran ring Ida;
Ida Bahtara Gde Pemeneh, pungkurang ring Ida;
Ida Bhatara ring Dalem Puri, Ida mamargi paling ungkur pisan.
Dalam Babad Tarukan, koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Bali, yang keotentikannya telah disahkan oleh Pengurus Pusat Para Gotra Sentana Dalem Tarukan pada tanggal 5 Juli 1982, terdapat pula gelar abhiseka Ida Bhatara Penataran pande di Besakih yang sama dengan gelar yang termuat dalam Raja Purana Pura Besakih.
Gelar itu termaktub dalam Bhisama Dalem Gelgel, pada waktu putra-purti Dalem Tarukanmenghadap beliau Dalem Gelgel. Dalam pertemuan itu dibhisamakan oleh Dalem Sri Semara Kepakisan, bahwa apabila para sentana Dalem Tarukan tetap ingin ngamanggehang (menegakkan) pamancangah (prasasti)-nya, sebagaia bukti bahwa mereka adalaha keturunan Dalem Gelgel, mereka harus memohon pengampunan (nunas lugra) ke Pura Besakih. Dalam Babad Dalem Tarukan dimuat bhisama Dalem, yang memberi petunjuk kemana mereka harus nunas lugra dan apa sarana penuntun nunas lugra itu, sebagaia berikut : ”muwah yan kita padha amaplagem pamencangah, nunas lugra kita ka Gunung Agung, ring Penataran Agung, makadi ring I Ratu Bagus Pande, ring Iratu Gedhe Panyarikan. Maka panuntun Ida, benang tridatu tlung tukel, daksina arta 700, paripih emas maka palinggihan Ida. Wija dena jangkep, kukus menyan-asatanggi, asep, canang tubungan, katipat kelanan limang kelan, sekar setaman”. Maksudnya: Demikian pula kalau engkau sama sama berniat menegakkan prasatimu, mohon ampulah engkau ke Gunung Agung, di Penataran Agung, juga ke Penataran I Ratu Bagus Pande, kepada I Ratu Gedhe Penyarikan. Sebagai sarana upacara itu adalah benang tridatu (tiga warna: merah, putih, hitam) tiga tukel (gulungan), daksina uang 700 kepeng. Peripih (lempengan) emas sebagai dasar tempat duduk Beliau. Wija yang lengkap, kukus menyan setanggi, asep (dupa), canang tubungan, tipat kelan 5 kelan (1 kelan=6 buah dalam satu kumpulan).
Gelar abhiseka sengaja dikemukakan agar warga Pande mengetahuinya, karena dalam babad-babad Pande gelar itu tidak pernah disebutkan. Warga Pande hendaknya mempergunakan gelar itu secara sadar, karena gelar itulah yang benar menurut sumber yang layak dipercaya. Oleh karena itu gelar abhiseka itu mutlak harus disosialisasikan kepada seluruh warga Pande agar mereka lebih mendalami jati dirinya guna memperkuat tekad ngayah, sebagaiman yang dibhisama kepada Brahmana Dwala oleh Mpu Siwa Saguna.
Eratnya keterkaitan antara Penataran Ida Ratu Bagus Pande dan warga Pande dengan Pura Besakih dikemukakan pula oleh peneliti Prancis, Jean Francois Guerpmonprez dalam desertasi doktoralnya yang berjudul ”Les Pande De Bali” (1987) yang dikutipnya dari tulisan C.Hooykaas, seorang pakar sejarah dan budaya Bali asal Belanda. Berikut kutipan pendapatnya sebagaia berikut: tidak ada warga di Bali yang mempunyai tempat pemujaan yang jelas untuk menyembah leluhurnya yang suci pada pura penyembahan leluhur di Pura Besakih di kaki Gunung Agung, sebagaimana dimiliki oleh warga Pande. Juga tidak ada warga yang telah menyebarluaskan sejumlah naskah-naskahnya (maksudnya: babad-babad) mengenai diri mereka dan lelintihan atau silsilahnya seperti halnya dengan warga Pande. Bersama-sama dengan warga Pasek, mereka merupakan satu-satunya kelompok atau soroh yang menulis aturan-aturannya dalam bentuk buku (lontar), sebagaimana saya temui pada kunjungan saya ke Bali pada tahun 1959.
Apa yang kemukakan oleh C.Hooykaas yang dikutif Jean Francois Guerpmonprez tidaklah jauh berbeda dengan yang termuat dalam Raja Purana Pura Pasar Agung. Eratnya kaitan warga Pande dengan warga Pasek dengan Pura Besakih tersurat dengan jelas pada Raja Purana Pura Pasar Agung, yang juga merupakan kesatuan dengan Pura Besakih kendati letaknya berjauhan dengan Pura Besakih. Dalam Raja Purana itu ditegaskan sebagai berikut: ”Sangkan apengaran Pasar Agung, mapan papasaran Bhatara kabeh saking Kadewatan. Dini sira manusa pada. Aja kita langgana ring Dewa, mangencak aci-aci, manguwugang Khayangan, kena kita sapadrawa Bhatara ring pucaking Gunung Agung, rusak kita wong Bali, sarang kos boros, sapi pada arang, kurang pangan kinum ira, masuduk kalawan rwang. Yan kita eling ring khayangan jagat kabeh, anyanyapuh balik sumpah maring khayangan, pada angelingin panembahan Ida Pada Sang Ratu ring Gunung Agung, muah kita punggawa, muah kita Pasek, kita Pande sane wenang ngelah panyembahan ring Besakih, stata tindih saking Majapahit sane ngutpeti linggih Ida Bhatara ring Gunung Agung, apang pada eling, aja ya pada predo kita wong Bali. Yannya predo, matemahan rusak, anging rusake meganti gumi, geledug, ktug, gejor sadina-dina, gunung uwug pacaloscos, gumi rengat dahata mapanes, sing tanur pada mati pasedsed, terak maka Bali, aharig pada mangemasin pejah. Ida Bhatara pada mantuk maring gunung Mahameru, norana Bhatara tumurun malingga maring khayangan, gumi tulus rusak, manusa tandruh maring dewa”. (Mengapa bernama Pasar Agung, karena pura itu merupakan pasar para Dewata semua. Di pura itu semua manusia sama/sederajat. Janganlah kalian lupa kepada para Dewa, dengan menghentikan upacara-upacara, merusak kahyangan karena hal itu akan menyebabkan engkau mendapat marah dari Ida Bhatara di Gunung Agung, rusaklah semua wong Bali kalau berbuat begitu, dan kamu semua menjadi pemboros, sapi-sapi berkurang, kamu menjadi kurang makan dan minum, kamu akan berkelahi sesamamu.
Kalau engkau ingat akan semua kahyangan jagat, selalu melakukan upacara malik sumpah pada kahyangan, semuanya ingat pada Bhatara Sesuhunan di Gunung Agung. Demikian pula para Punggawa (penguasa jaman dulu) engkau para Pasek, para Pande, yang berhak mempunyai pelinggih (parahyangan atau pura penataran) di Pura Besakih, karena selalu taat sejak semasih di Majapahit, engkaulah yang bertugas memelihara pelinggih-pelinggih Ida Bhatara di Gunung Agung. Engkau semuanya agar selalu ingat, janganlah hendaknya kamu bertengkar dengan sesamamu, semuanya akan menjadi rusak, akan tetapi kerusakan itu adalah bergantinya jaman (maksudnya: Bali dijajah ?) gempa bumi tidak berkeputusan setiap hari, gunung meletus tidak henti-hentinya, bumi belah karena panas yang tak tertahankan, atau hujan tidak berkeputusan, segala yang ditanam mati semuanya, Bali paceklik, kurus kering menunggu ajal. Akibatnya Ida Bhatara pergi dari Bali, kembali ke Gunung Mahameru, tidak akan ada lagi Ida, kembali ke Kahyangan, bumi Bali terus terusan rusak, manusia menyangsikan keagungan para Dewa.
sumber :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Prov. Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar